Pada tahun 1491 ketika Kerajaan Pajang dipimpin Sultan Hadi Wijaya, terdapat pemberontakan dari Adipati Harya Penangsang yang berasal dari Jipang Panolang (Sekarang Kabupaten Blora). Pemberontakan tersebut bisa dikalahkan oleh Raden Mas Danang Sutawijaya (Senopati / Panglima Perang Kerajaan Pajang). Atas jasanya, Danang Sutawijaya dihadiahi tanah dengan area di sebelah selatan Gunung Merapi, sebelah utara Pantai Selatan / Samudera Hindia, sebelah barat Gunung Kidul, dan sebelah timur Kulonprogo. Kurang lebih wilayah ini sekarang merupakan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kala itu, Danang Sutawijaya mengembara, sampailah ia di hutan Wanalipura. Di hutan Wanalipura, terdapat sebuah danau (mbelik). Di tengah mbelik, terdapat sebuah batu “Gilang”. Kemudian, Danang Sutawijaya bermunajat pada Tuhan di atas batu tersebut.
Sementara itu, di wilayah Kotagedhe, Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menuju ke peraduan Danang Sutawijaya. Mereka mengira bahwa Danang Sutawijaya hanya berdiam diri tanpa usaha mengingat keinginannya untuk menjadi seorang Raja. Lalu, Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan menanyakan perihal keberadaan Danang Sutawijaya kepada prajurit penjaga. Akan tetapi, prajurit memberitahukan bahwa sebenarnya yang ia tunggui hanyalah bantal dan guling. Kemudian, ia mengantarkan mereka ke Wanalipura (Sekarang wilayah Gilangharjo).
Ketika Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan sampai di Wanalipura, mereka melihat Danang Sutawijaya sedang bermunajat. Tiba-tiba muncullah cahaya terang (Lintang Johar) masuk kedalam tubuh Sang Senopati tersebut. Cahaya itu dapat berbicara layaknya manusia. Cahaya itu menyampaikan pesan sebagai berikut :
“Kau kelak akan menjadi Raja dan akan disegani di seantero Jawa, lalu disempurnakan oleh cucumu (Sultan Agung) yang menjadikan masa kejayaan Kerajaan Mataram. Kemudian akan banyak bencana, gempa bumi, gunung meletus, dan timbul tenggelamnya Mataram akan menjadi tanda-tanda dari akhir zaman”.
Lalu berkatalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan, “Hai Anakku, wahyu itu jaiz (semu), yang pasti kita akan diserang oleh pasukan Kerajaan Pajang, yang dpimpin oleh Sang Putra Mahkota bernama Pangeran Benowo. Sekarang, marilah berbagi tugas, mintalah pertolongan kepada Allah SWT, kami (Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan) akan pergi ke Gunung Merapi, dan kamu (Danang Sutawijaya) ke Cempuri (sekarang Parangkusumo) dengan tujuan untuk berdoa meminta belas kasih Allah SWT sebagai perlawanan tanpa mengangkat senjata dan agar tidak terjadi peperangan.” Atas rahmat Allah SWT, doa mereka terkabul. Peperangan tidak terjadi karena pasukan Kerajaan Pajang serta Pangeran Benowo menjadi korban amukan Gunung Merapi ketika meletus di sekitar tahun 1491.
Setelah bermunajat di Gilanglipuro, Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati bermakna Senopati / Panglima Perang sekaligus sebagai Ulama. Panembahan berasal dari kata “Manembah” yang berarti ulama, tetapi pada waktu itu status ulama masih disamarkan karena masih banyak rakyat yang menganut kepercayaan Hindhu dan Budha.
Setelah bermunajat, Panembahan Senopati memiliki keinginan untuk mendirikan / membangun istana di wilayah Wanalipura. Bahkan sudah membuka lahan untuk perkampungan dan sudah diberi nama sesuai peruntukan wilayah tersebut, diantaranya Kauman, Gandekan, Ketandan, Jetis, dan di sebelah Barat Laut terdapat cikal bakal masjid. Akan tetapi, rencana ini diurungkan karena di sebelah Barat Wanalipura masuk wilayah Wanabaya (daerah Pamerdikan Ki Ageng Wanabaya), sedangkan di sebelah Timur Wanalipura masuk wilayah Wanadara (kekuasaan Ki Ageng Paker). Maka, tidaklah pantas membangun kerajaan di wilayah perbatasan orang lain. Adapun rencana pembangunan kerajaan / istana akhirnya dilaksanakan di Kotagede. Itulah mengapa di Keraton sekarang juga terdapat nama perkampungan Kauman, Gandekan, Ketandan, Jetis, seperti yang terdapat di seputaran Gilangharjo.
Pada tahun 1746, area mbelik / danau tempat permunajatan Danang Sutawijaya tadi, oleh Sinuwun Pakubuwono II diurug menjadi daratan dan didirikanlah bangunan untuk melestarikan Gilanglipuro yang dulunya merupakan tempat bertapa Panembahan Senopati. Bangunan ini diberi nama “Patilasan Pasujudan Gilanglipuro”. “Gilang” artinya batu sedangkan “Lipuro” berarti pelipur lara. Sehingga jika diruntut dari sejarah, nama resmi situs ini adalah Gilanglipuro.
Sumber : Babad Tanah Jawi
Narasumber : Bp. Bayudi/ Mas Jajar Surakso Wiryosenjoyo (Juru Kunci Gilanglipuro)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar